Selasa, 14 Juli 2009

Michael Jackson dan Mbah Surip

MENINGGALNYA King of Pop, Michael Jackson, akrab disapa Jacko, di istananya yang megah, Neverland City, Los Angeles, menjadi fenomenal karena mendadak dan kemisteriusan sosok Jacko sendiri. Sedangkan di Indonesia, kehadiran Mbah Surip dengan khas reggae-nya menggelitik publik Indonesia.

Jacko dan Mbah Surip, dua anasir yang jauh berbeda. Tetapi ada pelajaran moral universal yang mampu kita petik dari dua sosok itu. Mari sedikit berpikir dengan perspektif ‘nakal’.

Jacko adalah ikon musik dunia. Lagu-lagunya fenomenal dan kontroversial. Temanya mendunia, seperti perilaku rasialis, tragedi kelaparan di Afrika, pembunuhan besar-besaran di Bosnia, nasib anak-anak dunia yang terlantar akibat perang, hingga berbagai bencana alam yang menelan ribuan korban. Ingat lagu Heal the World atau Black or White, itu antara lain contohnya.

Di balik itu, Jacko sosok misterius. Kehidupan pribadinya ditutup rapat dan tak satu mediapun berhasil mengendusnya. Hanya beberapa yang berhasil mengorek kehidupan pribadinya. Itupun tidak total menguak jati diri sang King of Pop itu.

Hingga akhir hayatnya, Jacko tetap meninggalkan segudang tanya. Yang diketahui public, Jacko yang ‘tidak terima’ atas kehitaman kulitnya. Ras negroid yang disandang dengan kekayaan yang dimiliki mampu ditanggalkan sejak usia 24 tahun. Bedah plastik total membuat Jacko menjadi kulit putih dalam waktu singkat.

Sehari setelah meninggal, le figaro.com, menulis historiografi Jacko, bahwa masyarakat dunia selalu melihat dia dari dua sisi yang bertolak belakang. Pertama, dari sisi karya musiknya yang berkualitas dan kental nilai kemanusiaan. Di sisi lain, Jacko dikritik karena mencoba melawan takdir Sang Pencipta.

Keberadaan dirinya yang berkulit hitam seolah ditolak dengan operasi bedah plastik total hingga Jacko ‘benar-benar’ menjadi pria berkulit putih. Konsekuensinya, pasca-operasi, Jacko harus mengonsumsi obat-obatan tertentu untuk menjaga daya tahan tubuh, fungsi organ vital, hingga kekenyalan serta pigmentasi kulitnya.

Konsumsi obat itu harus dilakukan sepanjang hidupnya. Ada kabar, meninggalnya Jacko akibat gagal ginjal karena overdosis. Sungguh, suatu satir bagi dunia entertainment dan kehidupan manusia pada umumya.

Terlepas dari kualitas musiknya, serpihan kabar tentang pribadi Jacko menghadirkan hikmah tersendiri bagi seluruh umat manusia. Sesuatu yang sifatnya terberi (given), adalah wilayah Tuhan dan manusia tidak berhak mencampuri urusan Sang Pencipta tersebut. Kelahiran, kesuksesan, kematian, jodoh, rejeki adalah sesuatu yang given.

Dogma dalam agama atau kepercayaan apapun, selalu mengatakan manusia hanya berkewajiban menggunakan pemberian Tuhan sesuai tuntunan dalam kitab suci setiap agama. Tapi trauma masa kecil Jacko mengubah cara pandangnya terhadap Tuhan.

Dengan kekuatan uangnya, Jacko mengubah ‘kemauan’ Tuhan atas hidupnya. Rasa sakit masa kecil ditebus dengan ‘membeli’ kebahagiaan ketika dewasa. Istana Neverland City dibangun untuk taman bermain anak-anak.

Taman bermain dengan beraneka wahana yang super modern. Diakui atau tidak, meski sisa hidupnya memeluk Islam, Jacko adalah potret kerasnya perjuangan hidup hingga kesuksesan itu, bermetamorfosis menjadi Tuhan baru yang mampu mengubah segalanya.

Tak Gendong
Di negeri kita, penyanyi reggae yang ’sepuh’ Mbah Surip memberikan fenomena tersendiri. Mbah Surip dengan single-nya Tak Gendong, mematahkan dominasi anggapan publik tentang glamornya dunia entertainmen.

Meminjam diskursus dekonstruksi ala Derrida, Mbah Surip membabat logosentrisme. Ikon besar dunia musik sebagai dunia anak muda, penuh hura-hura, retorika selebritas, penampilan fisik yang gemerlap, dihancurkannya dengan tertawa khas dan lontaran kalimat sederhananya : I love you full….

Mbah Surip sebenarnya cukup lama malang-melintang di dunia musik. Ketika itu, dengan kesederhanaan dan kenyelenehannya, mesin industri musik menganggap Mbah Surip tidak punya selling point.

Penulis pernah menyaksikan sosok Mbah Surip menyanyi pada awal era 1990-an. Sungguh sebuah perjalanan panjang ketika sekarang, Mbah Surip hadir dengan aroma selebritasnya. Kakek rambut gimbal itu mulai memetik buah perjuangannya.

Tapi yang patut dicermati, gaya hidupnya tetap seperti orang biasa, tak mengenal protokoler selebritas. Lihat! Selesai manggung di sebuah acara televisi, Mbah Surip pulang naik ojek.

Satu hal, Mbah Surip, bangga dengan keriput dan postur tubuh rentanya. Sesuatu yang given, dibiarkan tanpa ada niatan untuk mengubah atau menolaknya. Dalam skala kecil, bisa saja, Mbah Surip ke salon, memperbaiki keriputnya atau facial dan menata ulang gimbalnya.

Atau membeli kostum mewah ala selebritis saat ini. Semua itu tidak dilakukan Mbah Surip. Penulis mengamati dalam sebulan terakhir, Mbah Surip live show di beberapa stasiun televisi, kostumnya tetap sama. Agaknya, kakek kreatif itu agak susah diatur penyedia kostum pihak stasiun televisi. Itulah Mbah Surip!

Dua fenomena dari akar budaya dan belahan dunia berbeda tetapi memiliki kesamaan : sama-sama manusia ciptaan Tuhan, hadir dengan entitas berbeda. Sintesis fenomena Jacko dan Mbah Surip adalah pada cara pandang terhadap kesuksesan.

Kesuksesan itu sejujurnya adalah sesuatu yang given pada saat yang tepat. Tak layak siapapun ‘durhaka’ terhadap kesuksesan itu sendiri atau malah men-tuhan-kannya.

Jacko dan Mbah Surip adalah dua manusia yang secara esensi sama, hanya kultur yang membedakan keduanya. Perbedaan kultur akibat geografis yang berbeda, tapi moralitas sebagai diskursus universal mendudukkan keduanya di kursi yang sama : kursi makhluk Tuhan.

Sayangnya, kesuksesan, uang, dan kekuasaan tidak diperlakukan secara wajar. Fenomena ini makin marak di segala lini kehidupan. Kepercayaan Tuhan mestinya digendong kemana-mana, seperti syair lagu Mbah Surip : Tak gendong kemana-mana. Enak tho…! Mantep tho…I love you full…